Politik global saat ini menghadapi tantangan dan dinamika yang sangat kompleks. Seiring berjalannya waktu, dunia semakin terhubung dalam satu jaringan yang saling mempengaruhi melalui berbagai dimensi—politik, ekonomi, teknologi, budaya, dan lingkungan. Globalisasi, yang mempercepat arus informasi, barang, dan manusia mengurai kompleksitas, telah menciptakan tantangan baru dalam hubungan antarnegara. Kompleksitas ini melibatkan beragam aktor, mulai dari negara-negara besar dengan pengaruh global, organisasi internasional, hingga aktor non-negara seperti perusahaan multinasional, organisasi masyarakat sipil, dan individu.
Dalam artikel bevello.com, kita akan mengurai beberapa faktor kunci yang membentuk kompleksitas politik global kontemporer, termasuk hubungan kekuasaan antarnegara, dampak perubahan iklim, kebangkitan nasionalisme, serta peran teknologi dalam politik global.
1. Perubahan Dinamika Kekuasaan Antarnegara
Salah satu aspek yang sangat mempengaruhi politik global adalah perubahan dinamika kekuasaan antarnegara. Setelah berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dunia memasuki era unipolar di mana Amerika Serikat (AS) menjadi kekuatan dominan di panggung internasional. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan munculnya kembali kekuatan besar baru, terutama Tiongkok dan India. Tiongkok, dengan kebijakan luar negeri yang semakin agresif dan peningkatan kekuatan ekonominya, kini menjadi pesaing utama AS dalam berbagai sektor, termasuk perdagangan, teknologi, dan geopolitik.
Persaingan global antara AS dan Tiongkok semakin tajam, dengan perbedaan ideologi yang mendalam, terutama dalam hal sistem politik dan ekonomi. Tiongkok, dengan model pemerintahan otoriter dan ekonomi terencana, berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan di AS dan negara-negara Barat lainnya. Ketegangan ini semakin mencuat dalam isu-isu perdagangan, pengaruh di kawasan Asia-Pasifik, dan hak asasi manusia.
Sementara itu, negara-negara seperti Rusia, meskipun memiliki kekuatan militer yang signifikan, juga berusaha memperkuat pengaruhnya di dunia, baik melalui kebijakan luar negeri yang lebih assertive di wilayah Ukraina dan Suriah, maupun dengan mencoba meretas hubungan internasional melalui disinformasi dan perang cyber.
Polarisasi global antara negara-negara besar ini menciptakan ketegangan dalam berbagai forum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan memperburuk perpecahan dalam organisasi multilateral yang sebelumnya dianggap sebagai platform untuk kerja sama internasional.
2. Kebangkitan Nasionalisme dan Populisme
Di tengah globalisasi yang terus berkembang, kebangkitan nasionalisme dan populisme di berbagai negara menjadi salah satu elemen kunci dalam politik global kontemporer. Munculnya pemimpin-pemimpin populis di negara-negara Barat, seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Viktor Orbán di Hungaria, dan Jair Bolsonaro di Brasil, menggambarkan ketidakpuasan terhadap status quo politik global dan keinginan untuk “mengembalikan” kedaulatan negara mereka.
Kebangkitan nasionalisme sering kali picu oleh ketidakadilan ekonomi, ketimpangan sosial, serta dampak negatif dari globalisasi, seperti hilangnya lapangan pekerjaan dan penurunan daya saing ekonomi domestik. Banyak negara berkembang yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan ekonomi global yang cenderung menguntungkan negara-negara maju. Kebijakan-kebijakan proteksionis yang terapkan oleh beberapa negara, seperti tarif impor yang tinggi dan pembatasan perdagangan internasional, semakin memperburuk ketegangan internasional dan mempengaruhi ekonomi global.
Selain itu, populisme seringkali membawa dampak negatif terhadap multilateralisme dan kerja sama internasional. Pemimpin-pemimpin populis sering kali mengedepankan kepentingan nasional mereka, bahkan jika itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kerja sama global. Contohnya adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), yang dipicu oleh sentimen nasionalis dan anti-imigrasi, serta kebijakan proteksionis yang lebih mengutamakan kepentingan domestik ketimbang solidaritas internasional.
3. Perubahan Iklim dan Politik Global
Perubahan iklim adalah salah satu isu terbesar yang semakin membentuk politik global. Dampak dari perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan kekeringan, tidak hanya memengaruhi negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Isu ini menuntut adanya kerjasama internasional yang lebih erat, tetapi sering kali terhambat oleh kepentingan ekonomi yang berbenturan.
Negara-negara besar, seperti AS dan Tiongkok, adalah dua kontributor utama emisi karbon global. Namun, perbedaan pendekatan antara negara-negara tersebut dalam menangani perubahan iklim menambah ketegangan politik internasional. Misalnya, meskipun Paris Agreement 2015 mengatur target pengurangan emisi karbon secara global, beberapa negara, seperti AS di bawah pemerintahan Trump, sempat menarik diri dari kesepakatan tersebut, menandakan ketidakseragaman dalam komitmen internasional terhadap isu ini.
Di sisi lain, negara-negara pulau kecil dan negara berkembang yang paling terdampak oleh perubahan iklim, sering kali merasa terpinggirkan dalam pembicaraan internasional tentang solusi untuk perubahan iklim. Mereka mendesak negara-negara besar untuk lebih banyak mengambil tindakan konkret, seperti mengurangi emisi dan memberikan bantuan finansial untuk mitigasi perubahan iklim.
Isu perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga merupakan masalah ekonomi dan sosial. Di mana negara-negara yang lebih rentan terhadap dampaknya akan menghadapi tantangan besar dalam bidang pertanian, ketahanan pangan, migrasi, dan kesehatan. Oleh karena itu, perubahan iklim menjadi arena baru dalam politik global mengurai kompleksitas, yang membutuhkan kerja sama lintas batas untuk mencari solusi bersama.
4. Teknologi dan Perang Informasi
Kemajuan dalam teknologi digital dan perang informasi semakin mendominasi politik global saat ini. Kemajuan dalam teknologi, terutama internet, big data, dan kecerdasan buatan (AI). Telah menciptakan revolusi dalam cara negara berinteraksi dengan warganya dan antarnegara. Negara-negara besar dan perusahaan-perusahaan teknologi semakin terlibat dalam pengumpulan data massal, penyebaran informasi. Serta pengaruh media sosial yang dapat memengaruhi opini publik global.
Perang informasi dan cybersecurity kini menjadi topik utama dalam politik global. Negara-negara seperti Rusia dan Tiongkok telah tertuduh melakukan operasi siber untuk mempengaruhi pemilu di negara-negara Barat mengurai kompleksitas. Termasuk di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Disinformasi dan berita palsu yang sebarkan melalui platform digital menjadi ancaman baru bagi integritas demokrasi dan stabilitas politik internasional.
Selain itu, kebijakan teknologi dan kontrol terhadap data menjadi isu utama dalam hubungan internasional. Misalnya, perdebatan mengenai pengawasan global terhadap perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Google, dan TikTok. Yang mengumpulkan data pribadi pengguna, seringkali bertentangan dengan kebijakan privasi dan regulasi masing-masing negara.
5. Multilateralism vs. Unilateralism
Salah satu tema utama dalam politik global adalah perdebatan antara multilateralism dan unilateralism. Multilateralism merujuk pada pendekatan yang mengutamakan kerja sama antarnegara dalam memecahkan masalah global. Sementara unilateralism menekankan kebijakan yang ambil oleh satu negara tanpa melibatkan pihak lain.
Era globalisasi seharusnya mendorong lebih banyak kerja sama multilateral dalam menghadapi tantangan global. Namun, dengan kebijakan-kebijakan yang semakin proteksionis dan nasionalis. Seperti yang terlihat pada kebijakan luar negeri Presiden Trump dan beberapa negara lainnya. Terdapat tren yang mengarah pada unilateralism yang semakin kuat mengurai kompleksitas. Hal ini dapat melemahkan institusi internasional dan menghambat solusi atas isu-isu global seperti perubahan iklim, perang, dan ekonomi.